Apa Kamu Kenal Buya Hamka?
Buya Hamka – Ulama, Sastrawan, dan Pendidik yang Mencerahkan Bangsa.
Pernahkah kamu membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck? Atau mendengar nama besar Buya Hamka di dunia dakwah dan pemikiran Islam Indonesia? Tapi tahukah kamu bahwa di balik karya-karya besar itu, ada sosok yang tak hanya dikenal sebagai ulama dan sastrawan, tapi juga sebagai tokoh pendidikan yang membentuk karakter bangsa?
Pernahkah kamu membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck? Atau mendengar nama besar Buya Hamka di dunia dakwah dan pemikiran Islam Indonesia? Tapi tahukah kamu bahwa di balik karya-karya besar itu, ada sosok yang tak hanya dikenal sebagai ulama dan sastrawan, tapi juga sebagai tokoh pendidikan yang membentuk karakter bangsa?
Dialah Buya Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir pada 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatera Barat, ia tumbuh di tengah tradisi Islam yang kuat dan semangat keilmuan yang tinggi. Sejak muda, Buya Hamka telah menunjukkan kecintaan luar biasa pada ilmu, menulis, dan menyampaikan hikmah melalui kata-kata.
Dari Otodidak Menjadi Cendekiawan
Buya Hamka bukan lulusan perguruan tinggi. Ia belajar secara otodidak—membaca buku-buku filsafat, sastra, dan agama dari Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Perjalanannya ke Mekah untuk menimba ilmu memperkuat pandangannya tentang pentingnya pendidikan yang menyatu antara iman dan akal.
Setelah kembali ke Indonesia, ia aktif menulis dan berdakwah. Tapi lebih dari itu, ia juga menjadi pendidik sejati. Baginya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi soal membentuk budi pekerti, memperhalus jiwa, dan mendidik manusia menjadi utuh—berakal, berperasaan, dan beriman.
Mendidik Lewat Pena dan Dakwah
Hamka tidak hanya berdiri di depan kelas atau mimbar. Ia mendidik melalui tulisan dan karya. Sebagai penulis, ia produktif menghasilkan karya sastra yang sarat nilai moral dan pendidikan. Sebagai ulama, ia menyampaikan ceramah yang mencerahkan dan menyejukkan, bukan menghakimi.
Sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, Buya Hamka juga memberikan teladan tentang integritas. Ia menolak tunduk pada tekanan politik, dan bahkan rela dipenjara demi mempertahankan prinsip. Tapi dari semua peran itu, satu yang selalu ia jaga: mendidik dengan hati nurani.
Warisan yang Menyentuh Hati
Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981, namun warisannya tak pernah benar-benar hilang. Buku-bukunya masih dibaca, ceramah-ceramahnya masih dikenang, dan semangat pendidikannya masih menginspirasi. Ia telah menunjukkan bahwa pendidikan sejati adalah yang membentuk karakter, memperkuat iman, dan membangun peradaban.
Kini, Giliran Kita
Pertanyaannya kini bukan lagi, “Siapa Buya Hamka?”, tapi “Apakah kita telah meneladani semangatnya?” Di tengah dunia yang makin bising dengan informasi, kita butuh suara-suara yang mendidik, menyejukkan, dan membimbing—seperti suara Buya Hamka.
Karena mendidik bukan hanya tugas guru di sekolah. Seperti Buya Hamka, siapa pun bisa menjadi pendidik—dengan tulisan, ucapan, dan teladan.